Isi dan Tujuan Perjanjian Pengikatan Jual – Beli ( PPJB - AJB )

Isi dan Tujuan Perjanjian Pengikatan Jual – Beli ( PPJB - AJB )

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan salah satu kekuatan hukum sekaligus jaminan hukum pada saat membeli rumah. PPJB diatur berdasarkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995, yang secara garis besar berisikan :

Pihak yang melakukan kesepakatan.
Kewajiban bagi penjual.
Uraian obyek pengikatan jual beli.
Jaminan penjual.
Waktu serah terima bangunan.
Pemeliharaan bangunan.
Penggunaan bangunan.
Pengalihan hak.
Pembatalan pengikatan.
Penyelesaian Perselisihan.

Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun / Apartemen Berdasarkan Kepmenpera Nomor 11 Tahun 1994

Latar Belakang

Dewasa ini, jual beli satuan rumah susun yang belum selesai dibangun semakin meningkat. Bahkan tidak jarang jual beli satuan rumah susun ini dilakukan pada saat rumah susun masih berada dalam perencanaan. Pelaksanaan jual beli satuan rumah susun yang seperti itu dilakukan dengan cara memesan terlebih dahulu atas unit yang akan dibeli, yang kemudian dituangkan dalam perikatan pendahuluan atau perikatan jual beli atau yang lebih dikenal dengan sebutan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). Dengan tujuan untuk mengamankan kepentingan penjual (perusahaan pembangunan perumahan dan permukiman) (Pengembang) dan calon pembeli satuan rumah susun (Pemesan), maka dirasakan perlunya pengaturan secara khusus mengenai pedoman perikatan jual beli satuan rumah susun yang kemudian dituangkan dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 11/KPTS/1994 tahun 1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun (Kepmenpera No.11/1994). Dengan diberlakukannya Kepmenpera No.11/1994 tersebut, maka setiap adanya perikatan jual beli satuan rumah susun wajib mengikuti pedoman yang ditetapkan dalam Kepmenpera No.11/1994 tersebut.

Surat Pesanan

Pihak yang berminat untuk membeli satuan rumah susun yang masih berada dalam proses pembangunan dapat melakukan pesanan atas satuan rumah susun yang ingin dibelinya. Pesanan tersebut dilakukan dengan menandatangani surat pesanan yang disiapkan oleh Pengembang. Surat pesanan tersebut, sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:

nama dan/atau nomor bangunan dan satuan rumah susun yang dipesan;
nomor lantai dan tipe satuan rumah susun;
luas satuan rumah susun;
harga jual satuan rumah susun;
ketentuan pembayaran uang muka;
spesifikasi bangunan;
tanggal selesainya pembangunan rumah susun;
ketentuan mengenai pernyataan dan persetujuan untuk menerima persyaratan dan ketentan-ketentuan yang ditetapkan serta menandatangani dokumen-dokumen yang dipersiapkan oleh Pengembang;
surat pesanan juga dilampiri dengan gambar yang menunjukkan letak pasti satuan rumah susun yang dipesan, disertai dengan ketentuan tentang tahapan pembayaran.
Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender setelah penandatanganan surat pesanan tersebut, Pemesan dan Pengembang harus menandatangani PPJB. Para pihak harus memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagaimana ditetapkan dalam PPJB tersebut.

Apabila Pemesan lalai menandatangani PPJB dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tanggal penandatangan surat pesanan tersebut, maka Pengembang berhak untuk tidak mengembalikan uang pesanan, kecuali jika kelalaian tersebut berada di pihak Pengembang.

Pemesan dapat memperlihatkan surat penolakan dari bank bahwa permohonan Kredit Perumahan Rakyat (KPR) tidak disetujui atau hal-hal lain yang dapat disetujui bersama antara Pengembang dan Pemesan, sehingga memungkinkan uang pesanan akan dikembalikan 100% (seratus persen).


Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Suatu PPJB antara lain memuat hal-hal sebagai berikut:

(i)Obyek yang akan diperjualbelikan

Rumah susun sebagai objek yang akan diperjualbelikan wajib memiliki izin-izin yang diperlukan, seperti izin lokasi, bukti penguasaan dan pembayaran tanah, dan izin mendirikan bangunan.

(ii)Pengelolaan dan pemeliharaan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang merupakan kewajiban seluruh penghuni

Calon pembeli satuan rumah susun harus bersedia menjadi anggota perhimpunan penghuni rumah susun (PPRS). Pembentukan PPRS telah diatur di dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dan Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.

(iii)Kewajiban Pengembang

Sebelum melakukan pemasaran perdana, Pengembang wajib melaporkan hal terkait pemasaran perdana tersebut kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dengan tembusan kepada Menteri Negara Perumahan Rakyat. Laporan tersebut harus dilampiri dengan antara lain: (i) salinan surat persetujuan izin prinsip, (ii) salinan surat keputusan pemberian izin lokasi, (iii) bukti pengadaan dan pelunasan tanah, (iv) salinan surat izin mendirikan bangunan, (v) gambar denah pertelaan yang telah mendapat pengesahan dari Pemerintah Daerah setempat. Apabila dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal yang tercantum dalam tanda terima laporan tersebut belum mendapat jawaban dari instansi terkait, maka penawaran perdana tersebut dapat dilaksanakan.

Kewajiban-kewajiban lain Pengembang adalah sebagai berikut:

menyediakan segala dokumen terkait dengan pembangunan perumahan, seperti (i) sertifikat hak atas tanah, (ii) rencana tapak, (iii) gambar rencana arsitektur yang memuat denah dan potongan beserta pertelaannya yang menunjukkan dengan jelas batas secara vertikal dan horizontal dari satuan rumah susun, (iv) gambar rencana struktur beserta perhitungannya, (v) gambar rencana yang menunjukkan dengan jelas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama, (vi) gambar rencana jaringan dan instalasi beserta perlengkapannya;
menyelesaikan pembangunan sesuai dengan standar yang telah diperjanjikan;
memperbaiki kerusakan yang terjadi dalam jangka waktu 100 (seratus) hari setelah tanggal penandatanganan berita acara penyerahan satuan rumah susun dengan ketentuan bahwa tanggung jawab Pengembang dibatasi oleh desain dan spesifikasi satuan rumah susun dan bahwa kerusakan-kerusakan yang terjadi bukan disebabkan oleh kesalahan pembeli;
bertanggung jawab terhadap adanya cacat tersembunyi yang baru dapat diketahui di kemudian hari;
menjadi pengelola sementara rumah susun sebelum terbentuknya PPRS dan membantu menunjuk pengelola setelah PPRS terbentuk;
mengasuransikan pekerjaan pembangunan tersebut selama berlangsungnya pembangunan;
jika terjadi force majeure selama berlangsungnya pembangunan, Pengembang dan Pemesan akan mempertimbangkan penyelesaian sebaik-baiknya dengan dasar pertimbangan utama adalah dapat diselesaikannya pembangunan satuan rumah susun;
menyiapkan akta jual beli satuan rumah susun (AJB) kemudian bersama-sama Pemesan menandatangani AJB tersebut di hadapan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) pada tanggal yang ditetapkan;
Pengembang dan/atau Notaris/PPAT akan mengurus perolehan sertifikat hak milik atas satuan rumah susun atas nama Pemesan;
menyerahkan satuan rumah susun termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosial secara sempurna pada tanggal yang ditetapkan. Apabila Pengembang belum dapat menyelesaikan pada waktu yang telah ditetapkan, maka Pengembang diberikan jangka waktu 120 (seratus dua puluh) hari kalender untuk menyelesaikan pembangunan tersebut, terhitung sejak tanggal rencana penyerahan rumah susun tersebut. Apabila ternyata masih tidak terlaksana sama sekali, maka PPJB akan menjadi batal demi hukum. Kebatalan tersebut tidak perlu dibuktikan atau dimintakan keputusan pengadilan atau badan arbitrase. Pengembang diwajibkan mengembalikan pembayaran uang yang telah diterima dari pembeli ditambah dengan denda dan bunga setiap bulannya sesuai dengan suku bunga bank yang berlaku.
(iv) Kewajiban Pemesan

Pemesan berkewajiban melaksanakan segala kewajibannya yang ditetapkan dalam surat pesanan maupun dalam PPJB, serta tunduk kepada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan anggaran dasar PPRS dan dokumen-dokumen lain yang terkait. Pemesan juga berkewajiban untuk menanggung segala biaya seperti (i) biaya pembayaran akta-akta yang diperlukan, (ii) biaya jasa PPAT untuk pembuatan AJB, (iii) biaya untuk memperoleh hak milik atas satuan rumah susun, (iv) biaya pendaftaran jual-beli atas satuan rumah susun (biaya pengalihan hak milik atas nama) di Kantor Badan Pertanahan setempat. Setiap Pemesan, setelah menjadi pembeli satuan rumah susun juga wajib membayar biaya pengelolaan (management fee) dan biaya utilitas (utility charge).

Setelah AJB ditandatangani, tetapi sebelum sertifikat hak milik atas satuan rumah susun diterbitkan oleh Kantor Badan Pertanahan setempat, maka (i) apabila satuan rumah susun tersebut dialihkan kepada pihak ketiga, dikenakan biaya administrasi yang ditetapkan oleh Pengembang yang besarnya tidak lebih dari 1% (satu persen) dari harga jual satuan rumah susun tersebut (ii) apabila satuan rumah susun tersebut dialihkan kepada pihak anggota keluarga karena sebab apapun juga termasuk karena pewarisan menurut hukum, dikenakan biaya administrasi untuk Notaris/PPAT yang besarnya sesuai dengan ketentuannya. Sebelum pembayaran atas harga jual satuan rumah susun yang dibelinya lunas, Pemesan tidak dapat mengalihkan atau menjadikan satuan rumah susun tersebut sebagai jaminan hutang tanpa persetujuan tertulis dari Pengembang.

Penyelesaian Perselisihan

Penyelesaian atas perselisihan yang terjadi sehubungan dengan PPJB rumah susun dilakukan melalui arbitrase yang ditetapkan dengan menggunakan aturan-aturan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan biaya yang ditanggung bersama oleh para pihak.

Aspek Hukum Kepemilikan Kios Pada Pertokoan dan Mal Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun apartemen

Aspek Hukum Kepemilikan Kios Pada Pertokoan dan Mal Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, kios berasal dari kata ki dan os yang berarti toko kecil (tempat berjualan buku, koran dan lain-lain). Kios adalah salah satu bentuk usaha yang sederhana dan dapat ditemukan dengan mudah disegala pelosok kota maupun desa. Pada perkotaan seperti Jakarta, kios-kios banyak kita jumpai pada pertokoan moderen seperti Mangga Dua dan juga pada Mal (pusat perbelanjaan) seperti Ambassador.

Kios pada pertokoan dan mal (pusat perbelanjaan) seperti yang dijelaskan di atas, ada yang berstatus strata title atau di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Rumah susun yaitu kios yang dibeli atau dimiliki secara pribadi, dan ada juga yang tidak berstatus strata title atau Rumah susun yaitu kios yang hanya disewa. Bagi kios yang berstatus Rumah susun diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun UU No. 20/2011 dengan memenuhi kriteria yaitu bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama (Pasal 1 Angka 1 UU No. 20/2011). Maka kios pada pertokoan dan mal (pusat perbelanjaan) yang memenuhi kriteria tersebut di atas, tunduk pada UU No. 20/2011.

Proses kepemilikan Kios pada Pertokoan dan Mal (pusat perbelanjaan) diawali dengan jual beli yang dilakukan melalui akta jual beli AJB, yang dibuat di hadapan Notaris/PPAT untuk mendapatkan sertifikat hak milik satuan rumah susun SHM Sarusun dan di hadapan notaris apabila untuk mendapatkan sertifikat kepemilikan gedung bangunan SKGB Sarusun sebagai bukti peralihan hak (Pasal 44 ayat (1) UU No. 20/2011 beserta Penjelasannya). Sebagai tanda bukti kepemilikan atas satuan rumah susun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai di atas tanah negara, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan diterbitkan SHM Sarusun oleh kantor pertanahan kabupaten/kota (Pasal 47 ayat (1) dan (4) UU No. 20/2011).

Pengantar Kontrak Bisnis Internasional

Sejak semula setiap orang memerlukan orang lain. Seseorang memerlukan orang lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Dalam perkembangannya tidak hanya orang yang mempunyai berbagai kebutuhan melainkan subjek hukum lain juga, seperti perusahaan.

Seiring dengan perkembangan zaman kebutuhan orang atau perusahaan pun semakin beragam. Sebagian dari kebutuhan-kebutuhan itu dapat diperoleh dengan bebas tetapi sebagian lagi tidak bebas, antara lain hanya dapat diperoleh melalui perdagangan. Sebagian dari kebutuhan itu dapat diperoleh dengan mudah dari sekitarnya tetapi sebagian lagi hanya dapat diperoleh dari tempat-tempat yang jauh bahkan dari negara yang berbeda.

Perdagangan yang melibatkan para pihak dari lebih satu negara disebut perdagangan internasional (international trade) atau bisnis internasional (internatioal business). Perdagangan internasional atau bisnis internasional terutama dilaksanakan melalui perjanjian jual beli. Perjanjian jual beli internasional dikenal dengan sebutan perjanjian ekspor/impor, kegiatan jual disebut ekspor dan kegiatan beli disebut impor. Pihak penjual disebut eksportir dan pihak pembeli disebut importir. Secara ringkas kegiatan ini disebut ekspor dan impor.

Walaupun perjanjian ekspor/impor pada hakikatnya tidak berbeda dengan perjanjian jual beli pada umumnya yang diselenggarakan dalam suatu negara tetapi mempunyai beberapa perberdaan, antara lain: Pembeli dan penjual dipisahkan dengan batas-batas negara, barang yang diperjualbelikan dari satu negara ke negara lain terkena berbagai peraturan seperti kepabeanan yang dikeluarkan masing-masing negara, diantara negara-negara yang terkait terdapat berbagai perbedaan seperti bahasa, mata uang, kebiasaan dalam perdagangan, hukum, dan sebagainya.

Kegiatan ekspor/impor berkaitan erat dengan pembayaran. Cara pembayaran yang dikenal dalam ekspor/impor antara lain: secara tunai (cash payment), secara rekening terbuka (open account), dan secara penarikan wesel atau suatu Letter of Credit (L/C)[1]

Istilah Letter of Credit (L/C) ini sering juga disebut dengan Documentary Credit (Kredit Berdokumen)[2] atau Banker Commercial Credits.[3] Di Belanda istilah yang dipakai adalah creditbrief, di Perancis lettre de creedet, di Jerman accredietief, sedangkan di Belgia atau Amerika Serikat istilah yang digunakan adalah crediet atau credit saja.[4]

Para pihak dalam praktik transaksi bisnis secara internasional seringkali menghadapi kesulitan dalam memastikan hak dan kewajiban mereka karena berada di negara yang berbeda.[5] Masalah yang sering timbul dalam jual beli internasional karena perbedaan hukum diantara negara penjual dan pembeli adalah: Kekuatan hukum negosiasi, akseptasi yang berbeda dengan tawaran, pembatalan suatu tawaran, perlu tidaknya suatu Consideration, keharusan kontrak tertulis, dan waktu dianggap tercapainya kata sepakat.[6]


A. Perjanjian Ekspor/Impor

1. Pengertian Perjanjian

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[7] A contract is a promise or a set of promises, which the law will enforce.[8] Kontrak adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis.[9]

Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.[10] Berdasarkan hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan (prestasi), perjanjian dibagi dalam tiga macam, yaitu:

1. Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang;

2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu;

3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.[11]

Perjanjian ekspor/impor pada hakikatnya merupakan perjanjian yang berisi perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang. Di satu pihak penjual menyerahkan sejumlah barang sesuai dengan kualitas, jumlah, dan karaketristik tertentu kepada pembeli. Sementara di pihak lain pembeli menyerahkan sejumlah uang kepada penjual sesuai dengan harga yang disepakati.


2. Sistem Terbuka Dalam Perjanjian

Hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Sistem ini kemudian melahirkan prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang membuka kesempatan kepada para pihak yang membuat perjanjian untuk menentukan hal-hal berikut ini.

a. Pilihan hukum (choice of law), dalam hal ini para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang hukum mana yang berlaku terhadap interpretasi kontrak tersebut.

b. Pilihan forum (choice of jurisdiction), yakni para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang pengadilan atau forum mana yang berlaku jika terjadi sengketa di antara para pihak dalam kontrak tersebut.

c. Pilihan domisili (choice of domicile), dalam hal ini masing-masing pihak melakukan penunjukan di manakah domisili hukum dari para pihak tersebut.[12]


Kebebasan di atas tidak hanya berlaku untuk perjanjian yang hanya meliputi satu wilayah negara melainkan berlaku juga dalam perjanjian yang melintasi batas-batas negara. Dalam perjanjian ekspor impor dapat dipilih hukum yang dipakai, bisa hukum negara salah satu pihak, hukum negara lain di luar para pihak, hukum dari suatu organisasi internasional, atau hukum lain.

Demikian pula tentang penyelesaian sengketa jika terjadi dapat dipilih berbagai cara penyelesaian, melalui arbitrase, pengadilan, atau cara-cara lain. Bahkan untuk suatu cara penyelesaian sengketa dapat dirinci lagi, misalnya arbitrase yang akan digunakan ditentukan secara pasti, di negara tertentu dari lembaga tertentu mengingat lembaga arbitrase yang ada sekarang sudah sangat banyak.


3. Beberapa Asas Hukum Perjanjian

Dalam hukum perjanjian dikenal berbagai asas, antara lain asas konsensualisme. Kata konsensualisme berasal dari kata latin consensus yang berarti sepakat. Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.[13] Perjanjian menurut KUH Perdata secara umum bersifat konsensuil kecuali beberapa perjanjian tertentu yang merupakan perjanjian riil atau formil.

Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.[14] Contoh dari perjanjian riil adalah utang piutang, pinjam pakai, dan penitipan barang.

Dalam perkembangan, suatu perjanjian dapat mengalami perubahan dari konsensuil menjadi riil. Sebagai contoh perjanjian jual beli menurut KUH Perdata pada asasnya merupakan perjanjian konsensuil. Akan tetapi perjanjian jual beli tanah menurut hukum agraria yang berlaku sekarang merupakan perjanjian riil karena didasarkan pada hukum adat yang bersifat riil.

Selanjutnya dikenal perjanjian formil, yaitu perjanjian yang menurut undang-undang harus dituangkan dalam bentuk atau formalitas tertentu. Misalnya perjanjian perkawinan, perjanjian pemberian kuasa untuk memasang hipotik, atau perjanjian pendirian perseroaan terbatas harus dituangkan dalam akta otentik. Di samping itu ada perjanjian yang cukup tertulis saja, tidak perlu berupa akta otentik, seperti perjanjian pertanggungan.


4. Syarat Sah Perjanjian

Penjajian harus memenuhi beberapa syarat tertentu supaya dapat dikatakan sah. Dalam KUH Perdata ditemukan ketentuan yang menyebutkan syarat sah suatu perjanjian yakni Pasal 1320. Menurut Pasal 1320 KUHP ada 4 syarat yang harus dipenuhi suatu perjanjian supaya sah, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

3. Mengenai suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orang atau subyek-subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.[15]

Secara ringkas masing-masing syarat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tiada paksaan, kekeliruan, dan penipuan.[16]

Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.[17] Dengan kata lain orang yang tidak cakap tidak memenuhi syarat untuk membut perjanjian. Adapun orang yang tidak cakap menurut Pasal 1330 KUH Perdata ialah:

1. Orang-orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.

Pengertian suatu hal tertentu mengarah kepada barang yang menjadi obyek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 BW barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan.[18]

Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat atau terakhir agar suatu perjanjian sah. Mengenai syarat ini Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau perjanjian yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.[19] Dengan sebab (bahasa Belanda oorzaak, bahasa Latin causa) ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Jadi, yang dimaksudkan dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri[20]

Setiap perjanjian semestinya memenuhi keempat syarat di atas supaya sah. Perjanjian yang tidak memenuhi keempat syarat tersebut mempunyai beberapa kemungkinan. Jika suatu perjanjian tidak memenuhi dua syarat yang pertama atau syarat subyektif maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang telah memberikan sepakat secara tidak bebas. Sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat obyektif mengakibatkan perjanjian itu batal demi hukum (null and void). Perjanjian semacam ini sejak semula dianggap tidak pernah ada. Oleh karena itu, para pihak tidak mempunyai dasar untuk saling menuntut.


5. Unsur-unsur Perjanjian

Unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

1. Unsur essensialia

2. Unsur naturalia

3. Unsur accidentalia

Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada dalam setiap perjanjian. Tanpa unsur ini perjanjian tidak mungkin ada. Sebagai contoh, dalam suatu perjanjian jual beli harus ada barang dan harga yang disepakati sebab tanpa barang dan harga perjanjian jual beli tidak mungkin dapat dilaksanakan.

Adapun unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang diatur dalam undang-undang tetapi dapat diganti atau disingkirkan oleh para pihak. Undang-undang dalam hal ini hanya bersifat mengatur atau menambah (regelend/aanvullend). Sebagai contoh, dalam suatu perjanjian jual beli dapat diatur tentang kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan.

Sedangkan unsur accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak sebab undang-undang tidak mengatur tentang hal itu. Sebagai contoh, perjanjian jual beli rumah beserta alat-alat rumah tangga.[21]


6. Pengakhiran Perjanjian

Di dalam KUH Perdata dapat ditemukan ketentuan tentang pengakhiran perjanjian. Secara khusus dalam Pasal 1381 disebutkan sepuluh cara untuk mengakhiri perjanjian, yaitu: Pembayaran; Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; Pembaharuan utang (novatie); Perjumpaan utang (kompensasi); Percampuran utang; Pembebasan utang; Musnahnya barang yang terutang; Batal/pembatalan; Berlakunya suatau syarat batal dan Lewatnya waktu.

Cara-cara di atas belum lengkap sebab masih ada cara-cara lain yang tidak disebutkan, seperti berakhirnya suatu ketetapan waktu (“termijn”) dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang pesero dalam suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian dimana prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh seorang lain.[22]

Pembayaran adalah setiap pelunasan perikatan. Jadi, misalnya, pemenuhan persetujuan kerja oleh buruh atau penyerahan barang oleh penjual. Pada umumnya dengan dilakukannya pembayaran, perikatan menjadi hapus, tetapi ada kalanya bahwa perikatannya tetap ada dan pihak ketiga menggantikan kedudukan kreditur semula (subrogasi).[23]

Pembayaran adalah setiap pemenuhan perjanjian secara suka rela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian tetapi pihak penjual pun dikatakan “membayar” jika ia menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya.[24]

Hapusnya persetujuan harus benar-benar dibedakan daripada hapusnya perikatan karena suatu perikatan dapat hapus sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada.[25] Dalam hal ini dapat dikemukakan contoh jual beli, pembayaran menyebabkan perikatan mengenai pembayaran hapus tetapi persetujuan jual beli belum sebab perikatan mengenai penyerahan barang belum berakhir jika belum dilaksanakan. Persetujuan dapat hapus karena:

a. Ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak. Misalnya persetujuan akan berlaku untuk waktu tertentu.

b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu persetujuan. Misalnya menurut Pasal 1066 ayat (3) bahwa para ahli waris dapat mengadakan persetujuan untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi waktu persetujuan tersebut oleh ayat (4) Pasal 1066 dibatasi berlakunya hanya untuk lima tahun.

c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka persetujuan akan hapus. Misalnya: jika salah satu meninggal persetujuan menjadi hapus:

- persetujuan perseroan Pasal 1646 ayat (4)

- persetujuan pemberian kuasa Pasal 1813

- persetujuan kerja Pasal 1603 j

d. pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging). Opzegging dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak. Opzegging hanya ada pada persetujuan-persetujuan yang bersifat sementara, misalnya:

- persetujuan kerja

- persetujuan sewa menyewa

e. Persetujuan hapus karena putusan hakim.

f. Tujuan persetujuan telah tercapai.

g. Dengan persetujuan para pihak (herroeping).[26]


Dalam perjanjian ekspor/impor, para pihak dapat membuat ketentuan-ketentuan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan ekspor/impor, termasuk mengenai pengakhiran perjanjian. Selanjutnya mengenai pengakhiran perjanjian pertama-tama harus memperhatikan alasan-alasan yang tercantum dalam perjanjian. Pengakhiran dapat terjadi, baik ketika tujuan sudah tercapai maupun ketika tujuan belum/atau tidak tercapai. Mengenai tujuan belum/tidak tercapai tetapi perjanjian diakhiri misalnya karena satu atau semua pihak tidak lagi mempunyai kemampuan untuk melaksanakan isi perjanjian.


7. Wanprestasi

Jika ada pihak yang tidak melakukakan isi perjanjian maka pihak itu dikatakan melakukan wanprestasi. Perkataan ini berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk (bandingkan: wanbeheer yang berarti pengurusan buruk, wandaad perbuatan buruk).[27] Wanprestasi dapat berupa empat macam:

a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.[28]

Adapun hukuman atau akibat-akibat wanprestasi ada empat[29], yaitu: Pertama: membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi. Kedua: pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; Ketiga: peralihan risiko; Keempat: membayar biaya perkara kalau sampai diperkarakan di depan hakim.


8. Force Majeur/Overmacht

Seseorang yang dituduh lalai melaksanakan suatu perjanjian dapat memberikan pembelaan dengan berbagai alasan, yaitu:

a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur);

b. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exeptio non adimpleti contractus);

c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (pelepasan hak: bahasa Belanda: rechtsverwerking). [30]


Khusus mengenai keadaan memaksa dapat dijelaskan sebagai berikut. Keadaan memaksa atau keadaan kahar adalah:

“Keadaan yang mengakibatkan salah satu atau semua pihak tidak dapat melaksanakan kewajiban dan/atau haknya tanpa harus memberikan alasan sah kepada pihak lainnya untuk mengajukan klaim atau tunttan terhadap pihak yang tidak dapat melaksanakan kewajibannya (dan/atau haknya), karena keadaan kahar itu terjadi di luar kuasa atau kemampuan dari pihak yag tidak dapat melaksanakan kewajibannya itu.”[31]

Dengan mengajukan keadaan memaksa hendak ditunjukkan bahwa tidak terlaksananya sesuatu yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang tidak dapat diduga sebelumnya dan tidak dapat berbuat apa-apa terhadap hal-hal yang terjadi. Menurut Subekti, dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau keterlambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya.[32]

Jika memperhatikan ketentuan dalam KUH Perdata, mengenai keadaan memaksa diatur dalam Pasal 1244 dan 1245. Bunyi kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 1244: “Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada padanya.”

Pasal 1255: “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa atau karena suatu kejadian yang tak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbatan yang terlarang.”

Kedua pasal di atas ditempatkan dalam bagian KUH Perdata mengenai gant rugi. Dasar pemikiran pembuat undang-undang, ialah: Keadaan memaksa adalah suatau alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.[33]

Mengenai keadaan memaksa dikenal dua teori, yaitu teori subyektif dan teori obyektif. Menurut teori subyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasinya bagi setiap orang mutlak tidak mungkin dilaksanakan.[34] Sementara itu, menurut teori subyektif, terdapat keadaan memaksa jika debitur yang bersangkutan mengingat keadaan pribadi daripada debitur tidak dapat memenuhi prestasinya.[35]

Adapun sifat dari keadaan memaksa itu dapat bersifat tetap dan sementara. Jika keadaan memaksa bersifat tetap, perjanjian berhenti sama sekali. Misalnya barang yang diekspor terbakar dan tidak mungkin diganti dengan barang lain.

Sedangkan jika keadaan memaksa bersifat sementara, perjanjian tidak berhenti sama sekali melainkan hanya ditunda. Pada saat keadaan memaksa tidak ada lagi, perjanjian mulai berlaku kembali. Misalnya larangan untuk mengekspor sesuatu barang berlaku selama jangka waktu tertentu. Selama larangan itu berlaku perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Akan tetapi setelah larangan tidak berlaku lagi perjanjian dapat dilanjutkan atau dilaksanakan.


9. Perjanjian Ekspor/Impor

Salah satu perjanjian yang dikenal adalah perjanjian jual beli. Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.[36]

Perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu “verkoopt” (menjual) sedangkan yang lainnya “koopt” (membeli).[37]

Jual beli dapat terjadi di antara penjual dan pembeli yang berada dalam satu negara maupun beberapa negara. Jual beli di antara penjual dan pembeli yang berada di negara yang berbeda disebut jual beli internasional. Hukum tentang jual beli internasional akan berjalan berbarengan dengan hukum tentang ekspor-impor.[38] Dengan demikian perjanjian ekspor/impor adalah perjanjian jual beli di antara penjual dan pembeli yang berada di negara yang berbeda.

Perjanjian ekspor impor adalah kesepakatan antara eksportir dan importir untuk melakukan perdagangan barang sesuai dengan persyaratan yang disepakati bersama dan masing-masing pihak mengikat diri untuk melaksanakan semua kewajiban yang ditimbulkannya. Pihak yang ingkar janji akan dikenai sanksi dengan membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.[39]

Adapun hakikat dari kontrak dagang ekspor adalah rumusan kesepakatan akhir dari suatu perundingan (negosiasi) bisnis, yang kadangkala berjalan seru dan alot serta memakan waktu lama. Hal ini disebabkan penjual dan pembeli masing-masing mempunyai kepentingan yang bertolak belakang. Pihak penjual secara umum akan menawarkan mutu barang apa adanya, sedangkan pembeli menginginkan mutu barang yang sesuai dengan selera dan kebutuhannya.

Penjual menginginkan harga yang tinggi, sebaliknya pembeli menginginkan harga yang serendah mungkin. Penjual menginginkan pengiriman barang sesuai dengan kemampuan produksi dan penyediaan ruangan kapal, sedangkan pembeli lebih menghendaki pengiriman barang disesuaikan dengan musim pemasaran.

Hampir semua kepentingan yang bertolak belakang (conflict of interest) ini diselesaikan dengan cara negosiasi, sehingga tercapai kesepakatan yang akhirnya dituangkan dalam bentuk kontrak dagang ekspor.[40]

Kontrak dagang ekspor/impor tidak timbul begitu saja melainkan melalui tahap-tahap tertentu. Secara ringkas tahapan[41] tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Ekportir mempromosikan barang yang akan diekspor melalui berbagai cara, seperti pameran dagang, iklan di koran, majalah, radio, televisi, atau media lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Promosi dapat dilakukan sendiri melalui badan-badan khusus yang menangani promosi ekspor seperti Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), Dewan Penunjang Ekspor (DPE), Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Atase Perdagangan Kedutaan Besar RI di luar negeri, atase perdagangan Kedutaan Besar negara-negara asing di Jakarta, perwakilan-perwakilan dagang asing seperti American Chamber of Commerce (AMCHAM), China External Trade Association (CETRA), Japan External Trade Organization (JETRO), Korean Trade Agency (KOTRA), dan lain-lain.

2. Importir yang berminat terhadap promosi yang dilakukan eksportir kemudian mengirimkan surat permintaan harga atau Letter of Inquiry kepada eksportir. Letter of Inquiry ini berisi permintaan penawaran harga disertai keterangan mengenai mutu barang yang diinginkan, kuantum yang ingin dibeli, harga satuan dan total harga dalam valuta asing (US$ atau mata uang lain), waktu pengiriman (shipment date) serta nama pelabuhan tujuan yang diingini.

3. Eksportir memenuhi permintaan importir dengan mengirimkan surat penawaran harga atau offersheet yang berisi keterangan berdasarkan permintaan importir, seperti uraian barang, mutu, kuantum, waktu penyerahan, harga dan tempat penyerahan barang, syarat pembayaran, waktu pengapalan, cara pengepakan barang, brosur, dan bila perlu contoh barang yang ditawarkan. Penawaran itu juga menyebutkan apakah penawaran bersifat free offer atau firms offer.

4. Setelah mempelajari dengan seksama offersheet dari eksportir, kemudian importir membuat surat pesanan dalam bentuk ordersheet atau purchase order kepada eksportir.

5. Eksportir menyiapkan kontrak jual beli ekspor (sale’s contract) sesuai dengan data dari offersheet dan ordersheet ditambah dengan keterangan seperti force majeur clause, klaim, syarat pengapalan seperti partial shipment, transhipment, vessel age dan lain-lain. Kontrak tersebut ditandatangani oleh eksportir dan dikirimkan kepada importir untuk ditandatangani pula sebagai tanda persetujuan atas sale’s contract itu. Lazimnya sale’s contract dibuatkan dalam rangkap dua (two original).

6. Importir mempelajari sale’s contract dengan seksama, dan bila dapat menyetujuinya kemudia ia menandatangani dan mengembalikannya kepada eksportir. Satu original copy ditahan oleh importir sebagai dokumen asli transaksi yang lazim disebut sebagai sale’s confirmation. Kedua sale’s confirmation copy yang asli ini mempunyai kekuatan hukum yang sama.

Demikianlah gambaran beberapa tahap atau proses dari pembuatan perjanjian ekspor/impor. Perbedaan dapat terjadi untuk barang yang berbeda sebab membutuhkan perlakuan yang berbeda dalam pelaksanaan ekspor/impor, baik oleh ekportir dan importir maupun pihak-pihak lain yang terlibat.

Sejalan dengan itu perjanjian ekspor/impor harus memenuhi tiga landasan utama suatu perjanjian, yaitu:

a. Asas konsensus: adanya kesepakatan antara kedua belah pihak secara suka rela.

b. Asas obligatoir: mengikat kedua belah pihak untuk menjalankan semua hak dan kewajiban masing-masing.

c. Asas penalti: bersedia memberikan ganti rugi kepada pihak lain jika tidak memenuhi janji dalam menjalankan kewajibannya.[42]


Dalam perjanjian ekspor-impor sebagaimana perjanjian lain tentu saja memerlukan kesepakatan dari para pihak. Perjanjian yang belum didasari suatu kesepakatan akan mengalami kesulitan dalam pelaksaan. Akan tetapi, kesepakatan saja belum cukup melainkan perlu diikuti dengan kesadaran para pihak untuk melaksanakan kesepakan yang telah dibuat. Dalam upaya mendorong para pihak melaksanakan perjanjian sering dicantumkan sanksi. Meskipun demikian sanksi seberat apapun tidak akan bermanfaat banyak jika para pihak tidak mau menaati kesepakatan semula. Pengenai sanksi buka saja sering tidak menyelesaikan masalah melainkan sebaliknya justerus sering memperbesar masalah yang ada bahkan menambah masalah baru.

Pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian ekspor/impor dapat bervariasi antara satu perjanjian dengan perjanjian lain tergantug kebutuhan. Untuk perjanjian ekspor/impor yang sederhana mungkin hanya terlibat beberapa pihak. Akan tetapi, untuk perjanjian yang kebih rumit dapat terlibat lebih banyak pihak, baik langsung maupun tidak langsung. Meskipun demikian sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa pihak-pihak yang berhubungan dalam perjanjian ekspor/impor antara lain meliputi.

1. Hubungan hukum antara pembeli dan penjual

2. Hubungan hukum pembeli dengan issuing bank

3. Hubungan hukum issuing bank dengan advising bank

4. Hubungaan hukum issuing bank dengan penjual

5. Hubungan hukum advising bank dengan penjual[43]

Hubungan antara pembeli dan penjual dalam perjanjian ekspor/impor tidak berbeda dengan jual beli pada umumnya. Pembeli berkewajiban membayar harga barang dan penjual berkewajiban menyerahkan barang. Selanjutnya pembeli berhak menerima barang yang dibeli dan penjual berhak menerima pembayaran. Hubungan ini mungkin tidak begitu jelas terlihat dalam perjanjian ekspor/impor yang menggunakan L/C sebab pembayaran tidak langsung dilakukan oleh pembeli kepada penjual melainkan melalui bank.

Hubungan hukum pembeli dengan issuing bank dimulai ketika pembeli atau importir meminta bank membuka L/C untuk kepentingan penjual/elsportir. Jika bank yang dihubungi importir (issuing bank) tidak dapat berhubungan langsung dengan eksportir karena berbagai sebab seperti tidak/belum adanya kantor bank tersebut di negara pengekspor, bank tersebut akan menghubungi bank lain (advising bank).

Jika advising bank sudah mempunyai kantor atau cabang di negara issuing bank, hubungan dapat dilakukan kepada cabang tersebut. Apabila ternyata bank yang menjadi advising bank belum mempunyai cabang di negara issuing bank, hubungan dapat dilakukan kepada kantor advising bank di negar pengekspor atau negara lain yang paling memungkinkan.

Hubungan hukum issuing bank dengan penjual dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Jika issuing bank mempunyai cabang di negara pengekspor atau penjual, dimungkinkan terjadi hubungan langsung. Dalam hal ini dapat dikatakan issuing bank bertindak untuk kepentingan pembeli dan penjual. Akan tetapi tidak selalu issuing bank mempunyai kemampuan berhubungan langsung dengan penjual sehingga memerlukan satu atau beberapa bank lain. Jika keadaan ini yang terjadi hubungan antara issuing bank dan penjual dapat dikatakan sebagai hubungan yang tidak langsung.

Hubungan hukum advising bank dengan penjual terjadi dalam rangka pembayaran atas barang yang diekspor kepada penjual. Untuk kepentingan pembayaran itu penjual harus lebih dulu menyerahkan sejumlah dokumen sesuai dengan persyaratan yang dimuat dalam L/C.

Dalam perjanjian ekspor/impor semua pihak senantiasa perlu berkeinginan agar perjanjian dapat dilaksanakan dengan baik. Akan tetapi karena berbagai sebab dalam perjanjian ekspor/impor juga kadang-kadang ada pihak yang tidak taat kepada kesepakatan dalam perjanjian atau tidak mau melaksanakan isi perjanjian. Jika ada pihak yang tidak melakukakan isi perjanjian maka pihak itu dikatakan melakukan wanprestasi.

Sebagaimana telah disampaikan kadang-kadang ada pihak yang tidak mau melaksanakan perjanjian, termasuk dalam ekspor/impor, baik sengaja maupun tidak sengaja, baik atas keinginan sendiri maupun tidak atas keinginan sendiri.

Seseorang yang dituduh lalai melaksanakan suatu perjanjian dapat memberikan pembelaan dengan berbagai alasan, yaitu: Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur); mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exeptio non adimpleti contractus); atau mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (pelepasan hak: bahasa Belanda: rechtsverwerking). [44]

Demikianlah beberapa hal mengenai perjanjian yang berkaitan dengan perjanjian ekspor/impor. Sebagian ketentuan yang berlaku secara umum berlaku juga bagi perjanjian ekspor/impor. Akan tetapi dalam beberapa hal perjanjian ekspor/impor mempunyai kekhususan dibandingkan dengan perjanjian lain, seperti melintasi batas-batas dua negara bahkan sering sekali melintasi lebih dari pada dua negara.


B. Kredit Berdokumen/Letter of Credit (L/C)

1. L/C Sebagai Perjanjian

Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terahdap satu orang atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata). Kredit berdokumen dibuka atas suatu perjanjian yang telah ditetapkan di dalam perjanjian jual beli antara pihak pembeli dengan pihak penjual atau dapat pula ditentukan setelah waktu diadakannya perjanjian jual beli itu sendiri, hal tersebut tergantung kepada kesepakatan diantara kedua belah pihak.

Dengan adanya janji (beding) pembukaan L/C dalam suatu perjanjian jual beli maka pada asasnya sekaligus juga bahwa saat-saat untuk menepati prestasi dari penjual dan pembeli diatur atau dipertegas, hal ini biasanya terjadi dengan melihat kepada akibat selanjutnya bahwa penjual barulah akan menyerahkan barangnya setelah pembeli menyuruh bank membuka kredit untuk kepentingan penjua.

Apabila perjanjian jual beli itu tidak memuat suatu petunjuk atau ketentuan yang tegas-tegas atau diam-diam tentang kapankah saat pembukaan L/C, maka saat yang paling tepat adalah tergantung pada hal yang konkrit yaitu saat penyerahan barang dari penjual diberitahukan kepada pembeli.[45]

Suatu kredit berdokumen L/C dibuat tidak hanya berdasarkan perjanjian jual beli yang secara tegas-tegas disebutkan, akan tetapi dianggap ada secara diam-diam (samar-samar) di dalam perjanjian jual beli tersebut. Suatu perjanjian jual beli tetap merupakan suatu perjanjian jual beli di dalam pengertian yang sebenarnya, yaitu bahwa perjanjian jual beli itu telah ada segera setelah kedua belah pihak mencapai kesepakatan tentang barang dan harganya meskipun benda itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar (Pasal 1458 KUH Perdata). Janji (bedingi) atau klausula yang dimasukkan di dalam perjanjian jual beli itu tidaklah membuat perjanjian jual beli itu menjadi suatu perjanjian dengan syarat yang digantungkan (opschotende voorwarde).

Kewajiban pembeli atas harga pembelian tidaklah hapus hanya karena pembeli telah menyuruh membuka L/C kepada bank untuk kepentingan penjual. Hapusnya kewajiban membayar dari pembeli barulah ada apabila bank sungguh-sungguh telah membayar harga pembelian itu kepada penjual. Adanya perbuatan menyuruh membuka kredit itu harus juga mengandung suatu pengertian bahwa risiko tentang insolvabilitas dari bank tetap menajdi beban dari pembeli atau risiko dari pembeli.

Dalam bentuknya yang paling sederhana, di dalam L/C terdapat tiga pihak, yaitu: Pembeli, penjual, dan bank. Dengan adangan tiga pihak yang bersangkutan maka berarti juga terdapat tiga hubungan di dalam kredit berdokumen (L/C), yaitu:

1. Hubungan hukum antara Pembeli dengan Penjual

Sebagaimana halnya transaksi jual beli pada umumnya, dalam transaksi perdagangan internasional antara pembeli dan penjual terjadi hubungan hukum sesuai dengan definisi jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata yang menyatakan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Dalam transaksi perdagangan internasional yang menggunakan L/C antara penjual dengan pembeli tidak terdapat hubungan langsung karena pembayaran dilakukan oleh bank. Akan tetapi pembukaan L/C tidak menghapus hak penjual atas pembayaran dan hak itu baru hapus jika pihak bank telah membayar harga pembelian tersebut kepada penjual.

2. Hubungan hukum antara Pembeli dengan Bank

Perjanjian yang menjadi dasar dari hubungan hukum antara pembeli dan bank merupakan pemberian kuasa (lastgeving) dengan pemberian upah. Hubungan hukum itu lebih tepat dipandang timbul dari suatu perjanjian yang mempunyai unsur-unsur campuran antara perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian melakukan pekerjaan. Kewajiban dari bank adalah membayar kepada penjual barang sesuai dengan yang diperintahkan oleh pembeli dan bank berhak untuk menuntut penggantian dari apa yang dibayarnya kepada penjual disertai upah. Jika pembayaran telah dilakukan oleh bank, maka pembeli wajib membayar kepada bank dan selanjutnya berhak untuk memperoleh dokumen-dokumen yang sebelumnya telah diteliti oleh bank.

3. Hubungan hukum antara Penjual dengan Bank

Hubungan hukum antara penjual dengan bank lahir atas dasar L/C yang diterbitkan bank yang disetujui penjual (penerima). Persetujuan tersebut diwujudkan melalui pengajuan kredit berdokumen yang disyaratkan L/C kepada bank tetapi penerima tidak berkewajiban untuk menyetujui L/C yang diterbitkan oleh pihak bank dan sebelum L/C disetujui oleh penerima maka L/C merupakan kontrak sepihak.


2. Pengertian L/C

Pengertian L/C ditemukan dalam berbagai pendapat penulis dan peraturan perundang-undangan. A Letter of Credit (LOC) is a written instrument issued by a bank at the request of an importer obligating the bank to pay a specific amount of money to an exporter.[46] Sementara itu Radiks Purba menyatakan sebagai berikut: “L/C merupakan suatu surat kredit atau pemberitahuan kredit yang dikeluarkan oleh bank pembuka L/C atas permintaan nasabahnya yang ditujukan kepada cabangnya di tempat lain memberitahukan kepada orang atau perusahaan yang namanya tercantum dalam L/C itu bahwa telah sedia sejumlah dana untuknya.”[47]

Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian L/C di atas dapat diringkaskan bahwa L/C merupakan suatu perintah dari pembeli/importir kepada bank untuk membayar sejumlah uang kepada penjual/eksportir. Dari pengertian L/C di atas didapatkan beberapa makna dari L/C, yaitu:

1. Merupakan suatu perjanjian bank untuk menyelesaikan transaksi perdagangan internasional.

2. Memberikan suatu bentuk pengamanan untuk semua pihak yang bersangkutan dengan transaksi tersebut.

3. Menjamin pembayaran yang disediakan apabila syarat-syarat dan kondisi-kondisi dalam L/C terpenuhi.

4. Bahwa setiap pembayaran yang dilakukan didasarkan hanya pada dokumen-dokumen semata dan tidak pada barang atau jasa yang bersangkutan.[48]


Isi L/C merupakan pernyataan bahwa eksportir/penerima L/C diberi hak oleh importir untuk menarik wesel (surat perintah untuk melunasi hutang) atas importir bersangkutan untuk sejumlah uang yang disebut dalam surat itu. Bank yang bersangkutan menjamin untuk mengakseptir atau menghonorir wesel yag ditarik tersebut asal sesuai dan memenuhi syarat yang tercantum di dalam surat tersebut.

Sebagaimana telah disampaikan, L/C disebut juga kredit berdokumen. Dengan kata lain L/C merupakan kredit. Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi credere yang berarti percaya atau credo atau creditum yang berarti saya percaya. Jadi seseorang yang mendapatkan kredit adalah seseorang yang telah mendapat kepercayaan dari kreditur.[49]

Dari beberapa pengertian tentang kredit dalam literatur terlihat bahwa kredit merupakan suatu perjanjian yang objeknya dapat berupa uang atau barang, meskipun titik temu antara semua pendapat itu akan menuju kepada pengertian peminjaman uang.[50]


3. Jenis-jenis L/C

Penjenisan L/C dapat dilakukan dengan berbagai ukuran atau kriteria. Berdasarkan sifat, pembayaran, dan syarat. Menurut sifat L/C dapat dibagi menjadi sebagai berikut:

1. Revocable L/C, yaitu L/C yang dapat dibatalkan kembali kapan saja oleh importir tanpa memerlukan persetujuan eksportir.

2. Irrevocable L/C, yaitu L/C yang tidak dapat dibatalkan dan opening bank mengikatkan diri untuk melunasi wesel-wesel yang ditarik dalam jangka waktu berlakunya L/C, kecuali dengan persetujuan semua pihak yang terlibat dalam L/C.

3. Irrevocable dan Confirmed L/C, yaitu L/C yang tidak dapat dibatalkan sepihak dan mempunyai jaminan pelunasan berganda atas wesel atas penyerahan dokumen pengapalan yang diberikan oleh opening bank bersama-sama dengan advising bank.[51]


Sementara itu dari segi pembayaran L/C dapat dibagi menjadi:


1. Sight L/C, yaitu L/C yang jika semua persyaratan dipenuhi, maka negotiating bank wajib membayar nominal L/C kepada eksportir paling lama dalam 7 hari kerja.

2. Usance L/C, yaitu L/C yang pembayarannya baru dapat dilunasi jika L/C tersebut sudah jatuh tempo yaitu sekian hari dari tanggal pengapalan (tanggal Bill of Lading).

3. Red Clause L/C, yaitu L/C di mana pembayaran dilakukan oleh negotiating bank kepada eksportir sebelum barang dikapalkan.[52]


Kemudian dari segi syarat-syarat, L/C dapat dibagi menjadi sebagai berikut:

1. Open L/C, yaitu suatu L/C yang memberi hak kepada eksportir penerima L/C untuk menegosiasikan dokumen pengapalan melalui bank mana saja yang diingininya.

2. Restricted L/C, yaitu kebalikan daari open L/C di mana negotiating bank dibataasi pada bank tertentu.

3. Documentary L/C, yaitu L/C yang mewajibkan eksportir penerima L/C untuk menyerahkan dokumen pengapalan yang membuktikan pemilikan barang serta dokumen pelengkap lainnya sebagai syarat untuk memperoleh pembayaran.

4. Revolving L/C, yaitu L/C di mana kredit yang tersedia dapat dipakai ulang tanpa perlu mengadakan perubahan syarat baik dalam bentuk waktu maupun nilai uang.

5. Back to Back L/C, yaitu L/C yang dapat dibuka lagi oleh eksportit penerima L/C pertama kepada eksportir kedua dengan menjaminkan L/C yang diterimanya. L/C ini biasa digunakan dalam perdagangan segi tiga.[53]


Berikut ini pembagian L/C yang lebih mendetail,[54] yaitu:

a. Dari segi kekuatan berlaku

1. Revocable L/C: L/C yang dapat dibatalkan setiap saat tanpa perlu persetujuan pihak lain.

2. Irrevocable L/C: L/C yang hanya dapat dibatalkan jika disetujui oleh semua pihak yang terkait.

3. Irrevocable and Confirmed L/C: L/C yang tidak hanya tidak dapat dibatalkan melainkan juga diperkuat oleh confirming bank. Jika issuing bank tidak mau melakukan pembayaran, confirmed bank yang akan melakukan pembayaran.

b. Dari segi pihak yang mengeluarkan L/C

1. Bankers L/C: L/C yang diterbitkan oleh bank atas permintaan pengimpor. Oleh karena yang mengeluarkan L/C itu bank maka bank merupakan pihak yang akan melakukan pembayaran bukan importir.

2. Merchant L/C: L/C dikeluarkan oleh importir bukan bank. Bank hanya meneruskan L/C yang dibuka importir. Bank tidak bertanggungjawab atas pembayaran L/C.

c. Dari segi cara pembayaran

1. Sight L/C: L/C yang dibayarkan advising bank pada saat eksportir mengajuka wesel-wesel dan dokumen-dokumen yang disyaratkan.

2. Usance L/C: L/C yang dibayarkan advising bank pada saat tertentu atau jatuh tempo bukan pada saat eksportir menyerahkan dokumen-dokumen yang disyaratkan.

d. Dari segi persyaratan L/C

1. Documentary L/C: Pembayaran L/C dilakukan dengan penarikan wesel disertai dengan dokumen-dokumen yang ditentukan oleh importir.

2. Open/clean L/C: L/C ini tidak memerlukan penyerahan dokumen-dokumen khusus pada saat pembayaran. L/C ini dapat digunakan untuk pembayaran rutin dengan jumlah yang tidak begitu besar.

e. Dari segi perjanjian yang dilakukan

1. Restricted/straight L/C: L/C hanya dapat dinegosiasi oleh bank khusus yang disebutkan dalam setiap L/C. L/C harus memuat suatu klausula yang menyatakan bahwa L/C tersebut hanya tersedia atau dibatasi atau hanya dapat dinegosiaasi oleh bank tertentu saja.

2. General L/C: L/C yang telah diteruskan oleh advisinng bank dapat dinegosiasi oleh bank-bank lain juga tidak terbatas hanya advising bank.

f. Dari segi hak pengekspor

1. Transferable/assignable/divisible L/C: L/C ini berarti dapat dialihkan dari beneficiary pertama kepada beneficiary kedua.

2. Non transferable L/C: L/C yang tidak dapat dialihkan oleh beneficiary.

g. L/C khusus

1. Aflopend dan revolving L/C: L/C mempunyai jangka waktu berlaku. Jika L/C tidak digunakan selama jangka waktu tertentu maka L/C tersebut tidak dapat digunakan lagi.

2. Back to back L/C: Negotiating bank membuka L/C baru untuk kepentingan pihak ketiga atas permintaan beneficiary. Dengan demikian negotiating bank berubah posisi menjadi issuing bank untuk back to back L/C.

3. Red clause L/C: Dalam L/C ini terdapat klausula yang ditulis dengan tinta merah. Klausula itu meminta negotiating bank membayar sebagian harga kepada eksportir walaupun barang belum dikapalkan. Pembayaran seperti ini dimaksudkan sebagai advance payment yang akan diperhitungkan dalam seluruh pembayaran.

4. Transit L/C: Issuing bank di negara X membuka L/C atas permintaan applicant yang berada di negara Y melalui banknya di negara Y untuk dibayar kepada beneficiary di negara Z melalui negotiating bank di negara Z.

5. Negociering L/C: L/C ini membebankan tanggung jawab kepada issuing bank sedangkan advising bank tidak mempunyai tanggung jawab. Negosiasi dalam L/C ini berarti issuing bank wajib membeli wesel dengan harga sebesar jumlah yang disebut dalam wesel tanpa diskon.

6. Travellers L/C: L/C ini merupakan pengganti uang tunai. L/C ini dapat digunakan pada saat bepergian ke negara asing. Di negara asal seseorang meminta sebuah bank menerbitkan L/C kepadanya dengan advising bank di negara tujuan. Untuk menjada keamanan, nomor passport dan tanda tangan pemilik disyaratkan dalam L/C tersebut.

7. Stand by L/C: L/C yang dikeluarkan sebagai jaminan jika ada pihak dalam kontrak wanprestasi.

Dari jenis-jenis L/C yang telah dikemukakan dapat diketahui bahwa setiap L/C mempunyai karakteristik tertentu. Masing-masing L/C memberikan hak dan kewajiban yang berbeda kepada eksportir, importir, bank, dan pihak-pihak lain. Oleh karena itu, sangat perlu bagi semua pihak yang terlibat dalam L/C memahami jenis L/C yang digunakan. Jenis L/C dapat diketahui dari isi pokok masing-masing L/C. Untuk itu pemahaman atas isi pokok setiap L/C merupakan keharusan bagi semua pihak agar tidak muncul penyesalan pada waktu kemudian.

Adapun unsur-unsur pokok dalam L/C meliputi:

a. Credit substitution, yaitu issuing bank menggantikan (mensubstitusikan) kredibilitas applicant dengan kredibilitasnya sendiri.

b. Promise to pay, yaitu L/C berisi jaminan pembayaran dari issuing kepada beneficiary.

c. Terms and conditions, L/C merupakan jaminan pembayaran bersyarat (conditional guarantee), dimana akan dilakukan pembayaran sepanjang beneficiary telah memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan dalam L/C.

d. Parties, yaitu dalam suatu L/C akan terlibat beberapa pihak antara lain, applicant, issuing bank, beneficiary, advising bank, negotiating bank atau confirming bank (jika L/C di confirm oleh bank lain)

e. Time, yang menyangkut expire date yaitu tanggal berakhirnya jangka waktu berlakunya suatu L/C, latest shipment date yaitu tanggal terakhit untuk melaksanakan pengapalan/pengiriman sesuai dengan yang ditentukan dalam L/C dan latest presentation date, yaitu tanggal terakhir bagi beneficiary untuk penyerahan dokumen ke bank.[55]


L/C tertentu memberikan perlindungan kepada satu pihak tetapi dapat merugikan pihak lain. Sehubungan dengan itu, setiap pihak yang terkait dengan L/C, terutama eksportir dan importir, perlu melakukan perundingan untuk menemukan jenis yang dapat diterima semua pihak atau menguntungkan semua pihak sehingga tidak akan menimbulkan ketidakpuasan satu atau beberapa pihak.


4. Dokumen-dokumen L/C

Berdasarkan ketentuan di atas dokumen yang dipersyaratkan untuk setiap L/C dapat berbeda. Meskipun demikian secara umum syarat-syarat yang harus ditetapkan itu antara lain sebagi berikut:

1) L/C yang akan dibuka harus merupakan Commercial Documentary Letter of credit.

2) Dokumen yang dimaksud sekurang-kurangnya harus terdiri dari dokumen-dokumen berikut:

a. Full set of Bill of Lading (Konosemen)

b. Commercial Invoice (Faktur Perdagangan)

c. Packing List

d. Weight note

e. Measurement List

f. Insurance Certificate

g. Consular Invoice

h. Brochure/leaflet

i. Surveyor Report

j. Manufacture’s Certificate

k. Certificate of Origin

l. Processing License

m. Instruction Manual[56]


Beberapa diantara dokumen di atas yang penting dapat dijelaskan sebagai berikut: Bill of Lading (Konosemen) merupakan dokumen pengangkutan tentang barang-barang yang diangkut dengan kapal laut. Dalam Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dinyatakan sebagai berikut.

“Konosemen adalah sepucuk surat yang ditanggali, dimana pengangkut menyatakan bahwa ia telah menerima barang-barang tertentu untuk diangkutnya ke suatu tempat tujuan yang ditunjuk dan di sana menyerahkannya kepada orang yang ditunjuk beserta dengan klausula-klausula apa penyerahan akan terjadi.”

Konosemen dibuat oleh pengangkut. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 504 KUHD yang menyatakan bahwa “pengirim apat menginginkan supaya oleh pengangku dengan mencabut bukti penerimaan yang mungkin telah diberikan olehnya dikeluarkan konosemen tentang barang-barang yang diterimanya untuk diangkut.

Meskipun demikian, dalam hal-hal tertentu konosemen dapat dibuat oleh pihak lain, yaitu nakoda. Pasal 505 KUHD berbunyi demikian:

“Nakoda berwenang mengeluarkan konosemen-konosemen untuk barang-barang yang diterima untuk dimuatkan dalam kapal yang dipimpinnya, kecuali bilamana orang lain dibebani dengan pengeluaran itu.”

Commercial Invoice (Faktur Perdagangan) adalah surat keterangan dari eksportir mengenai barang yang dikirim kepada importir. Faktur perdagangan berisi hal-hal berikut:

1. Nama dan alamat eksportir

2. Nama dan alamat importir

3. Jenis dan kualitas barang

4. Nama kapal

5. Nama perusahaan pelayaran pengangkut

6. Tanggal keberangkatan kapal

7. Nama pelabuhan asal

8. Nama pelabuhan tujuan

Packing List (daftar isi) dibuat oleh eksportir. Daftar ini berisi keterangan dan perincian mengenai isi setiap peti, karung, dan lain-lain. Daftar ini sangat penting terlebih jika barang yang dikirim tidak sejenis melainkan mempunyai perbedaan bentuk, warga, berat, dan sebagainya.

Insurance Certificate (polis asuransi) sangat penting dalam L/C. Mengenai dokumen asuransi Pasal 34 UCP abatara lain berbunyi sebagai berikut:

a. Dokumen asuransi secara nyata harus diterbitkan atau ditandatangani oleh pejabat perusahaan asuransi atau perusahaan penjamin (underwriter) atau agen mereka.

b. Jika dokumen asuransi menunjukkan bahwa dokumen tersebut diterbitkan lebih dari satu dokumen asli, semua dokumen asli tersebut harus diserahkan kecuali apabila sebaliknya diperkenankan oleh kredit.

c. “Cover notes” yang diterbitkan oleh perantara tidak akan diterima, kecuali apabila diperkenankan secara khusus oleh kredit.

d. Kecuali ditentukan lain di dalam kredit, bank akan menerima sertifikat asuransi atau deklarasi atas dasar suatu “open cover” yang ditandatangani terlebih dahulu oleh perusahaan asuransi atau perusahaan penjamin atau agen mereka. Jika suatu kredit secara khusus mensyaratkan suatu sertifkat asuransi atau deklarasi atas dasar suatu open cover, bank-bank akan menerima suatu polis asuransi sebagai gantinya.


Memperhatikan dokumen-dokumen yang dibutuhkan dapat dikatakan pihak yang terlibat dalam setiap pembayaran dengan L/C cukup banyak. Dengan demikian kelancaran pembayaran L/C tergantung kepada banyak pihak juga, tidak cukup hanya eksportir dan importir. Oleh karena itu kerja sama antara semua pihak yang terlibat sangat dibutuhkan. Pembebanan kesalahan atas permasalahan L/C kepada eksportir dan/atau importir saja untuk beberapa kasus menjadi tidak tepat. Sangat mungkin permasalahan bukan disebabkan oleh kesalahan eksportir dan/atau importir melainkan pihak-pihak lain.


5. Mekanisme L/C

Dalam suatu jual beli ekspor/impor pembukaan L/C dapat dilakukan setelah ada kontrak berupa Sales Contract atau Confirmation of Sales. Mekanisme L/C secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Diadakan kontrak jual beli antara penjual kepada pembeli dalam jual beli mana pembeli diwajibkan membuka L/C.

2. Kemudian pembeli mengajukan aplikasi L/C kepada Bank Devisa langganannya untuk manfaat pihak penjual.

3. Bank penerbit mengirim surat L/C kepada penikmat melalui bank korepondennya di negara penikmat.

4. Advising bank memberitahu penikmat bahwa kepadanya telah dibuka L/C.

5. Setelah penikmat menerima L/C, dia lantas mengirim barang kepada pembeli.

6. Dokumen asli diserahkan kepada advising bank dan duplikat dikirim kepada pembeli.

7. Dilakukan pembayaran oleh advising bank setelah meneliti kelengkapan dokumen.

8. Dokumen yang telah diterima oleh advising bank kemudian dikirim ke issuing bank.

9. Setelah menerima dokumen-dokumen issuing bank membayar kepada advising bank.

10. Pembuka kredit membayar semua kewajiban kepada issuing bank setekah dinotifikasi oleh issuing bank bahwa semua dokumen telah datang.

11. Issuing bank mengirim dokumen asli kepada pembuka kredit, berdasarkan dokumen-dokumen mana barang-barang dapat diminta dari pengangkut.[57]


Tahapan pembayaran dengan L/C secara ringkas sebagai berikut:

a. Penjual dan pembeli di luar negeri setuju dalam sales contract bahwa payment dilakukan menurut documentary credit.

b. Pembeli memberikan instruksi kepada bank di kediamannya (The Issuing Bank) untuk membuka documentary credit untuk penjual.

c. The Issuing Bank mengatur dengan bank di domisili penjual (Correspondent Bank) untuk melakukan negosiasi, menerima, atau membayar exporter draft atas penyerahan dari dokumen pengapalan.

d. Correspondent Bank memberitahu kepada penjual untuk menegosiasi, menerima, atau membayar exporter draft atas penyerahan dokumen pengapalan.[58]


Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pembayaran dengan L/C tidak sederhana, memerlukan waktu, biaya, dan lain-lain. Akan tetapi cara pembayaran ini tetap saja dipilih karena lebih dapat menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak yang terlibat. Meskipun begitu tidak berarti L/C merupakan cara pembayaran yang sempurna. Berbagai masalah masih dapat timbul, baik disengaja maupun tidak oleh pihak tertentu. Pilihan terhadap L/C tetap dilakukan mungkin karena belum ada cara lain yang lebih baik.


6. Pihak-pihak Dalam L/C

Sehubungan dengan jenis-jenis L/C yang dikenal saat ini, para pihak-pihak yang terkait dapat berbeda satu sama lain. Akan tetapi secara umum pihak-pihak yang terlibat dalam L/C adalah:

a. Pihak Pembeli

Pihak pembeli adalah pihak imporir yang membeli barang dan membuka L/C.

b. Pihak Penjual

Pihak penjual adalah pihak eksporir terhadapnya L/C dibuka.

c. Pihak Pembuka L/C

Bank pembuka L/C atau yang disebut dengan issuing bank adalah bank yang membuka L/C setelah dimintakan oleh pihak pembeli.

d. Pihak Penerus L/C

Bank penerus L/C adalah bank yang dimintakan oleh bank pembuka L/C untuk meneruskan L/C dan membayarkan kepada pihak penjual. Bank penerus L/C ini disebut juga dengan Conforming Bank, Correspondent Bank, Advising Bank, Paying Bank, atau Negotiating Bank[59].


Meskipun para pihak sudah jelas tetapi pembayaran tidak dapat serta merta dilaksanakan sebab masih perlu melengkapi syarat-syarat tertentu. Dalam L/C lazim ditentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi eksportir agar dapat menerima pembayaran, antara lain:

1) L/C yang akan dibuka harus merupakan Commercial Documentary Letter of Credit.

2) Dokumen yang dimaksud sekurang-kurangnya harus terdiri dari dokumen-dokumen berikut:

a. Full set of Bill of Lading (Konosemen)

b. Commercial Invoice (Faktur Perdagangan)[60]


Setelah para pihak jelas dan dokumen yang disyaratkan terpenuhi barulah pembayaran dapan dilaksanakan. Kenyataan ini tidak perlu dipandang sebagai sesuatu yang negatif dari L/C. Sebaliknya kenyataan itu justeru merupakan salah satu kelebihan L/C dalam rangka melindungi kepentingan semua pihak yang terkait.


7. Peralihan L/C

L/C dapat dialihkan jika termasuk transferable credit. Kredit hanya bisa dialihkan jika secara tegas ditetapkan sebagai “transferable” oleh issuing bank. Istilah-istilah seperti “divisible”, “fractionable”, “assignable” dan “transmisible” tidak berarti kredit tersebut dapat dipindahtangankan. Jika istilah-istilah demikian digunakan istilah-istilah tersebut akan diabaikan.

Suatu transferable credit adalah kredit atas dasar mana beneficiary (beneficiary pertama) boleh meminta bank yang diberikan kuasa untuk membayar, menjamin pembayaran kemudian, mengaksep atau menegosiasi (Transfering Bank) atau, dalam hal suatu kredit yang dapat dinegosiasi secara bebas, bank yang secara khusus diberi kuasa dalam kredit sebagai Transferring Bank, akan melaksanakan pengalihan kredit seluruhnya atau sebagian pada satu atau beberapa beneficiary lainnya (beneficiary kedua). .

Pengalihan L/C tidak dapat dilakukan begitu saja secara bebas melainkan harus memperhatikan beberapa pembatasan, misalnya hanya dapat dialihkan dengan persyaratan dan kondisi sebagaimana disebutkan dalam kredit aslinya, dengan pengecualian:

1. nilai kredit,

2. harga satuan yang disebutkannya,

3. tanggal jatuh temo,

4. tanggal terakhir penyerahan dokumen sesuai dengan Pasal 43,

5. masa pengalihan,

satu atau seluruhnya boleh dikurangi atau dihapuskan.

Persentase nilai pertanggungan asuransi yang harus ditutup (untuk masing-masing bagian) boleh dinaikkan untuk memenuhi nilai pertanggungan yang ditentukan dalam kredit aslinya. Disamping itu, beneficiary pertama dapat menggantikan nama aplicant, tetapi jika nama aplicant secara khusus disyaratkan oleh kredit aslinya untuk disebutkan dalam semua dokumen kecuali faktur, persyaratan tersebut harus dipenuhi.

Kecuali jika ditentukan lain di dalam kredit suatu transferable kredit dapat dipindahtangankan hanya sekali saja. Oleh karena itu kredit tersebut tidak dapat dipindahtangankan atas permintaan beneficiary kedua kepada beneficiary ketiga berikutnya. Akan tetapi pengalihan kembali (retransfer) kepada beneficiary pertama tidak dilarang.

Ketentuan pengalihan L/C hanya dapat dilakukan satu kali bukan tanpa alasan. Pembatasan ini perlu antara lain untuk mencegah atau paling tidak mengurangi kesulitan jika timbul permasalahan, misalnya terjadi kekurangan dokumen. Dengan pembatasan tersebut akan lebih mudah ditemukan pihak-pihak yang terkait yang masih perlu melengkapi dokumen. Selain itu biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu masalah dapat diharapkan tidak terlalu besar karena pihak yang terlibat terbatas.

Hukum Pidana Yang berlaku di indonesia


Hukum pidana indonesia .
Diatas telah diterangkan bahwa IUS POENALE berarti "hukum pidana dalam arti obyektif' yaitu hukum pidana yang berlaku disuatu tempat pada suatu waktu.

Didalam hubungan ini perlu diterangkan tentang hukum pidana yang berlaku di indonesia.

Untuk itu pertama-tama harus diketahui rencana konstitusi rencana konstitusi rep .indonesia serikat ( 1950 ) Bab II - bag. II tentang ketentuan - ketentuan peradilan .

Ps. 192 : (I) Peraturan - peraturan undang-undang dan ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konsitutisi ini mulai berlaku,tetap berlaku tidak berubah sebagai peraturan - peraturan dan ketentuan-ketuntuan H.I.S sendir selama dan sekedar peraturan - peraturan dan ketentuan -ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau dirobah oleh undang-undang dan ketentuan tata usaha atas kekuasaan konstitusi ini.

Disamping ketentuan-ketentuan itu perlu mendapat perhatian U.U.D sementara Republik indonesia 1950 bab VI bag II tentang : ketentuan -ketentuan peradilan ps. 142 yang maknanya sama dengan ps .192 tsb,diatas berdasarkan ketentuan-ketentuan itu ,maka undang-undang hukum pidana ( W.V.S) hindia belanda yang berlaku di indonesia "wetboek van starfrecht" ini semula disebut "het" tetapi kemudian setelah perang dunia ke II berakhir dan belanda kembali lagi ke indonesia ,maka kata-kata "vor nederlands" diubah "vor indonesia"

K.U.H.P yang berlaku sekarang ini merupakan hukum pidana "pokok" yang berlaku ,disamping
Yang mengandung hukum pidana. Mengapa kita masih menggunakan K.U.H.P yang berasal dari pemerintah nederlands indie " yang lampu, ini disebabkan karena semenjak Proklamasi kemerdekan pada tanggal 17 agustus 1945 hingga sekarang,kita yang bersifat nasional,maka sekedar untuk mengehindarkan facuum dalam hukum,perlu diadakan peraturan perahlian sebagai tsb diatas yang singkat menerangkan bahwa KUHP belanda sementara masih berlaku.

Untuk menyusun KUHP yang bersifat Nasional diperlukan waktu, yang tidak mungkin
Diselanggarkan didalam beberapa bulan atau beberapa tahun dan yang membutuhkan keahlian, peneilitan, ketentuan khusus .

Kordifikasi (pembukuan) dan syarat-syaratnya .
Untuk kordifikasi hukum harus dipenuhi beberapa syarat ,yaitu :
a. Harus merupakan pengetahuan hukum yang tinggi
b. Kordifikasi itu harus dapat dukungan dari masyarakat .

Dalam syarat-syarat itu merupakan syarat mutlak nampak dari keagagalan yang dialami oleh pemerintahan belanda dalam mengadakan :

a. Perubahan-perubahan didalam B.W pada tahun 1938. sungguh pun di negeri belanda terdapat pengetahuan hukum yang tinggi, namun karena syarat - syarat seperti di dalam sub. B tidak di penuhi, maka usaha menyelenggarakan perubahan-perubahan didalam B.W harus mengalami kegagalan
b. Kondifikasi hukum adat itu di indonesia . Juga usaha ini tidak memperoleh dukungan dari masyrakat, hingga harus mengalami kegagalan juga.

III. Kitab undang-undang hukum pidana

Seperti telah diterangkan diatas,bahwa kita masih menggunakan "het wetboek van strafrecht voor indonesia" dalam hal ini perlu kita mengetahui asal-usul dari W.V.S ini.

Concordonatie beginse (Azas korkondonansi) .
"het wetboek van strafrecht voor Indonesia"yang sebelum perang Dunia ke II bersama "het Wetbok van strafrecht voor nedelands Indie", sebenarnya berasal dari W.V.S yang berlaku di negeri belanda yaitu merupakan copy dari Nederlands Strafrechtboek. Berdasarkan azas yang terdapat didalam perundang-undang Hindia belanda ,Yaitu ps.131 I.S, yang disebut "concordantie beginsel" ,maka harus diadakan persesuaian antara W.V.S yang berlaku di nederlands dengar W.V.S yang harus diterapkan di hindia belanda dahulu.

Justru karena W.V.S itu isi nya sesuai dengan apa yang berlaku di nederlands. Maka kita harus menengok kepada Riwayat pembentukan W.V.S di nederlands

Hukum Pidana Nederlands setelah tahun 1795 sebegai yang terdapat dalam bukunya Simons dan vos.

1.Dalam tahun 1795 oleh sidang Nasional dibentuk sebuah panitia yang terdiri atas 5 anggota yang diberi kewajiban untuk membentuk "criminiel wetboek" (kitab undang-undang kriminil). Panitia tersebut gagal dalam melaksanakan kewajibannya.

2.Dalam tahun 1798 dibentuk sebuah panitia baru,yang terdiri dari 12 anggota, guna melaksanakan maksud yang terletak didalam ps. 28 algemeen beginselender Staatsregeling (azas-azas umum dari peraturan pemerintah) yang terbentuk dalam tahun tersebut.

Dari 12 anggota tadi 5 orang diberi kewajiban untuk membentuk undang-undang hukuman
Badan (Lijfstarffelijke wetten). Sungguhpun panitia itu dapat melaksanakan kewajibannya,namun rencana yang diajukannya dalam tahun 1804,setelah dipelajari dalam tahun 1806 terpaksa ditolak oleh Hoog national gerechtshof.
Crimineel wetboek voor het koningri hollan (kitab undang-undang kriminal untuk kerajaan belanda)

3.Berhubung dengan itu , maka oleh raja dalam tahun 1807 dibentuk sebuah panitia baru lagi dengan diberi tugas yang sama.
Panitia ini dalam tahun 1808 telah dapat memajukan rencana undang-undang yang dikehendaki dari padanya. Setelah rencana ini mengalami proses yang lazim, pada tanggal 31 desember 1809 rencana tadi. Yang selanjutnya disebut "crimineel wetboek voor het koningrijk Holland" memperoleh kekuatan undang-undang tentang wetboek ini vos menulis :
Kitab undang-undang tahun 1809 ini telah terdapat ciri-ciri modern, antara lain :
a. Kebebasaan yang luas untuk hakim didalam straftoemeting
b. Ketentuan-ketentuan khusus bagi tertuduh dibawah umur.
c. Penghapusan dari algemeen confiscatie.

Code penal :

4.akan tetapi wetboek tersebut hanya berlaku hingga tahun 1822 dan berhubung dengan penduduk nederland oleh peranois,diganti oleh code penal, yang ciri-ciri nya antara lain :
a.bentuk hukuman yang lebih keras .
b.dihapuskannya lagi algemeens conficatie.

Tentang 'ciri" dan code panel ini simons menulis :
Tujuan daripada para pembentuk undang - undang ini ialah bahwa "penghukuman" sebagai dasar dari hukum tersebut telah dilepaskan, dan tujuannya kini ialah untuk menghindarkan kejahatan dengan jalan menakut-nakuti".
Code panel dari tahun 1810 merupakan suatu reaksi dari hukum dalam revolusi,yang dalam
Beberapa banyak kejahatan diancam hukuman mati.

Setelah nederlands dalam tahun 1813 memperoleh kedaulatannya kembali,code penal
Tersebut dengan souverien Besluit tertanggal 11 desember 1815 tetap berlaku untuk nederlands dengan mendapat perobahan-perobahan penting. Perobahan itu terutama terdapat didalam "Strafstelsel ( azas-azas hukuman) yaitu beberapa :

A.Penghapusan untuk :

a. Algemen verbeurdverklaring van goederen ( confiscatie terhadap barang-barang).
b. Penempatan pelaku-pelaku kejahatan dibawah pengawasaan Polisi negara.
c. Kerja -paksa terus menerus dan kerja paksa untuk waktu tertentu.
d. Memperlihatkan kepada umum si pelaku kejahatan.

B.beberapa hal digunakan lagi atau diganti.

Bahan-bahan untuk membentuk sendiri hukum nasional.
Sungguh pun code panel tetap berlaku ,akan tetapi disamping itu diusahakan juga untuk
Membentuk kitab undang-undang sendiri yang bersifat nasional,berkali-kali dibentuk panitia pembentukan wetboek,akan tetapi senantiasa tidak berhasil,kegagalan panitia itu terutama disebabkan oleh pertentangan faham mengenai "gevangenisstelset " (azas kepenjaraan serta tentang dapat tidaknya dipertahankan nya adanya hukuman badan (lijfstraffen) disamping usaha untuk membentuk wetboek sendiri,yang ternyata sementara gagal itu,juga diusahakan untuk menyesuaikan code penal dengan keadaan serta zaman . Berhubung dengan itu maka code penal senantiasa mengalami perobahan diantara nya mengenai :

a. Hukum lebih ringan bagi suatu maksud jahat dari pada suatu kejahatan yang telah dilaksanakan.
b. Penghapusan Hukuman mati, dalam peristiwa-peristiwa yang diancam oleh :
- De hurgerlijke strafwet
( undang- undang pidana bagi orang sipil )
- De melataire strafwetern,dalam hal ini tindak pidana pada waktu tidak dilaksanakan.

Penghapusan hukuman mati ini terjadi dengan undang-undang tertanggal 17 september 1870 stb. 162

Kitab Undang-undang hukum pidana Nederland terbentuk dalam tahun 1881.
Akhirnya dengan koningklijk Besluit tanggal 28 september 1870 dibentuk sebuah panitia negara baru . Tanggal 13 mei 1875 panitia ini menyampaikan rencana undang - undang hukum pidana kepada raja rencana mana merupakan dasar W.V.S yang berlaku sekarang ini.setelah mengalami beberapa perobahan,barulah rencana undang - undang ini menjadi undang-undang pada tanggal 3 maret 1881,undang-undang mana baru berlaku pada tanggal 1 september 1886.

Sebabnya wetboek van strafrechet baru mulai berlaku pada tahun 1886.
Apakah sebabnya, bahwa rencana undang-undang yang dalam tahun 1881 telah menjadi undang-undang akan tetapi baru berlaku pada 1 sepetmber 1886 kelambatan itu dikarenakan beberapa hal,yaitu :

a. Perluasan daripada "celwesan" masalah sel-sel hingga harus dibuat sel-sel baru.
b. Harus dibentuknya beberapa undang-undang baru yang berhubungan dengan W.V.S baru itu,yaitu diantaranya Cestichtement Yaitu azas-azas hukum perihal kepenjaraan.
c. Perobahan-perobahan yang harus dilakukan terhadap beberapa undang-undang yang telah ada dan erat hubungannya dengan W.V.S itu yaitu wetboek van strafvordaringen dan E.O.

IV .TUGAS ILMU PENGETAHUAN HUKUM PIDANA.

Tugas ilmu pengetahuan ilmu hukum pidana yang terutama adalah mempelajari hukum pidana yang berlaku pada suatu dinegara.
Cara ilmu pengetahuan hukum pidana melakukan tugasnya.
Yang dipelajari oleh ilmu pengetahuan hukum pidana itu adalah terutama menganai
Azas-azas (gianselen), yang menjadi dasar daripada peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku, serta mencari hubungan antara azas yang satu dengan yang lain nya,untuk selanjutnya menyusun peraturan-peraturan dan azas-azas tadi dalam suatu sistem agar dapat dipahami apa yang menjadi maksud dari pada peraturan-peraturan yang berlaku itu.
Dengan demikian dapatlah diketahui makna serta maksud dan tujuan dari hukum pidana
Yang berlaku itu ilmu pengetahuan hukum pidana dogmatis.
Ditilik dari sifatnya,ilmu pengetahuan hukum pidana itu adalah dogmatis,sebagai contoh
Dikemukakan,bahwa peraturan-peraturan yang berlaku itu hanya disusun dalam beberapa kata - kata. Oleh karenanya untuk mengetahui dan menjelasakan arti kata ini, timbullah beberapa macam cara penafsiran dan oleh sebab itu perlu diketahui maksud peraturan-peraturan itu demikian pula sistem nya. Diatas diterangkan bahwa ilmu pengetahuan hukum pidana adalah dogmatis. Akan tetapi dalam hal ini timbul perbedaan-perbedaan paham.
Beberapa sarjana, diantaranya Geverbergen menganggap bahwa ilmu pengetahuan hukum
Pidana itu harus dogmatis,sedang simons dar van hamel bahwa sifat dogmatis saja belum cukup dan harus diperluas menurut pendapat kedua sarjana ini , janganlah hendaknya ilmu pengetahuan hukum pidana hanya mempelajari hukum positif yang berlaku pada suatu saat dan suatu negara
(IUS CONSFUTOTUM) saja. Bahkan juga harus mempelajari hukum di -idam-idam kan (IUS CONSTITUENDUM) .ajaran itu didasarkan atas pendapatanya,bahwa apabila tugas ilmu pengetahuan hukum pidana hanya dibatasi pada sifat yang dogmatis saja, ilmu pengetahuan itu akan menjadi beku, sebagaimana pada setiap ilmu pengetahuan hukum pidana harus dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.
Dalam pada itu.hukum pidana harus dipergunakan untuk memberantas kriminalitas,yang merupakan penyakit masyarakat.

Untuk mencapai maksud itu,maka hukum pidana harus mempelajari sebab-sebab serta cara - cara memberantas kejahatan yang timbulnya tugas baru dari pada hukum pidana itu timbullah pada ilmu pengetahuan baru,yang semula hanya merupakan ilmu pengetahuan pelengkap saja,yaitu : kriminologi.
dar
KRIMINOLOGI :
Hubungan hukum pidana dengan kriminologi : bagaimanakah hubungan antara hukum pidana dengan kriminologi.
Dengan mempelajari sebab kejahataan dan cara-cara memberantas kejahatan, maka kriminologi dapat menyumbangkan bahan-bahan hukum pidana, bahan-bahan mana diperlukan guna menyesuaikan hukum pidana dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam memberantas kejahatan.

Bahan-bahan tersebut diberikan kepada pembentuk undang-undang,untuk disusunnya kedalam undang-undang.
Walaupun kriminologi telah menjadi ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri,akan tetapi perlu diketahui perihal hubungannya dengan hukum pidana


Aetiologi kriminil dan politik kriminil .
Kriminologi dapat dipisahkan menjadi dua bagian ya itu :
1. Criminele aetologie ,yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab-sebab timbul nya kejahataan
2. Criminele politik,yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari cara-cara pemeberantasan kejahatan

Aetiologi kriminil.
Perkataan "aetiologi berasal dari kata poaethos" yang berarti "sebab musbab" aetiologi kriminil dapat dibagi lagi menjadi 2 bagian :
a. Antropologi kriminal-yaitu ilmu pengetahuan, yang mencari sebab-sebab kejahatan pada mereka yang melakukan kejahatan.
b. Sosiologi kriminil - ilmu pengetahuan yang mencari sebab-sebab kejahatan didalam sifat dan keadaan masyarakat itu sendiri.

Antropologi kriminil.
Perkataan antropologi berasal dari perkataan "antropol" yang berarti "manusia ". Dalam hal ini harus lah dihubungkan dengan seorang yang bernama "cesare lombraso" seorang psychiater. Setelah lombraso ini mempelajari rumah-rumah penjara serta penjahat-penjahat, baik yang berada didalam penjara maupun yang telah meninggal dunia,maka ia berpendapat,bahwa berdasarkan hasil-hasil penelitian itu maka seorang penjahat dapat dikenal dari beberap ciri-ciri nya. Lombraso menetukan delictnya sebagai berikut :
Seorang penjahat itu mempunyai ciri-ciri pembawaan dan bakat-bakat itu diperolehnya sejak ia dilahirkan ( gebiren misdadiger).bakat itu dapat diketahui dari yang terdapat pada :
a. Tubuh nya (ciri-ciri) badaniah antara lain :
- Kelopak matanya dalam
- Rambutnya yang timbul lebat
- Tulang pundak yang kuat
- Flaporan
b. Ciri rokaniah antara lain :
- Tinggi hati (gratis ijdelheid)
- Tahan menderita
- Malas.

Menurut Lombraso ,orang-orang yang memeliki ciri-ciri itu dihinggapi bakat kejahatan dan cepat atau lambat tentu menjadi penjahat.
Oleh karena itu perlu diadakan pembagian jenis penjahat yaitu misalnya :
- Dilahirkan sebagai penjahat
- Penjahat karena gila (kiankzinning misdadigers).
- Penjahat karena adanya kesempatan gelegenheid misdadigers.
Pembagian - pembagian tersebut diatas perlu untuk menentukan hukuman.pendapat lombraso ini diletakan didalam buku nya yang berjudul :
"L" UOMO DELINQUENTE"
Sosiologi kriminil (criminile sosiologie)
Didalam percakapan sehari-hari orang yang menilai ciri-ciri sebagai diajarkan oleh Lombraso
Tadi disebut : "Lombraso type".
Ajaran Lombraso ini kemudian mendapat perlawanan dari seorang sarjana Perancis
Bernama LACASSGNE.
Ia menyangkal ajaran Lombraso,yang berpendapat bahwa penjahat itu dikarenakan
Oleh pembawaan dan bakat yang dimilikinya sejak dilahirkan.
Walaupun ia mengakui bahwa mereka yang mempunyai bakat akan juga melakukan kejahatan,lacassgne berpendapat bahwa tidak mungkin kejahatan itu dilakukan oleh bakat saja . Menurut pendapatnya, sebab-sebab kejahatan itu haruslah dicari didalam keadaan masyarakat itu sendiri,yaitu diantaranya kemiskinan,lingkungan dan pergaulan,kepadataan penduduk, minuman keras dan sebagainya.

Ajaran bio-sosiologis

Dengan adanya dua pendapat diatas tadi,kemudian timbul aliran yang ketiga yaitu :

Ajaran Bio sosiologis .
Aliran ini diciptakan oleh ferry (seorang criminologi) yang mencari sebab-sebab kejahataan
Dari sudut bakat yang terdapat pada diri manusia maupun dari dalam masyarakat. Demikianlah sepintas tugas dari pada setiologi kriminil.
Seperti telah dijelaskan diatas, kriminologi dibutuhkan oleh hakim pidana,karena hasil-hasil penyelidikannya maka dapatlah disusun undang-undang untuk memberantas kejahataan.
Sebagai contoh dapat dikemukakan disini,bahwa sebelum perang dunia ke II sifat
Perdagangan adalah bebas. Disebabkan karena terdapatnya cukup barang-barang kebutuhan hidup,oleh sebab itu para pedagang bebas menetukan harga untuk memperoleh laba yang setinggi-tinggi nya, dan bebas menimbun barang persediaan.
Dalam keadaan pereekonomian negara tertentu sangat terbatas produksinya,maka lalu
Diadakan peraturan untuk melarang menimbun barang-barang tersebut.jadi jelas bahwa semula buka merupakan perbuataan-perbuataan terlarang, maka karena keadaan perkembangan masyarakat, dan terhadap pelanggarannya yang diancam dengan hukuman.

Pemerintah akan mengambil tindakan-tindakan demikian apabila ternyata keadaan
Masyarakat menjadi "precair" dari apa yang diterangkan diatas dapatlah diambil kesimpulan,bahwa kriminologi dibutuhkan oleh hukum pidana, oleh karena bahan-bahan yang disediakan oleh ilmu pengetahuan,tersebut diperlukan untuk memperbaiki cq. Membaharui hukum pidana.
Selanjutnya dapat diketahui juga,bahwa tugas hukum pidana tidaklah nanya dogmatis saja,
Akan tetapi juga kriminologis.
Berhubungan dengan itu,ilmu pengetahuan hukum pidana dapat dibagi menjadi :

a. Ilmu pengetahuan hukum pidana dalam arti sempit yaitu yang dogmatis.
b. Ilmu pengetahuan hukum pidana dalam arti luas dimana termasuk kriminologi.

Perbedaan - perbedaan pendapat perihal ilmu tentang sifat hukum pidana.
Diatas nampak bahwa tentang sifat hukum pidana itu menimbulkan perbedaan-perbedaan paham.
Diantara para sarjana yang mempertahankan sifat ilmu pengetahuan hukum. Zevenbergen sebagai diterangkan diatas akan tetapi disamping itu ada pula yang menghendaki dimasukkanya kriminologi didalam ilmu pengetahuan hukum pidana, pendapat ini antara lain dipertahankan oleh simons dan van hamel.
Jadi pokok persoalan disini ialah apakah kriminologi masuk dalam pengetahuan hukum pidana atau tidak.
Pendapat Zevenbergen.
Vos menulis bahwa zevenbergen menyangkal masuknya kriminologi kedalam ilmu pengetahuan hukum pidana. Penolakan zevenbergen itu diletakan didalam bukunya "leerboek van het nederland strafrecht" dimana ia merumuskan hukum pidana itu kurang lebih sebagai berikut :
"ilmu hukum pidana adalah suatu pengetahuan perihal norma-norma hukum, jadi merupakan suatu pertanggungan jawab (bagi yang melanggarnya terhadap hukum pidana,ini adalah ilmu pengetahuan hukum (dan tekanan diletakan pada "hukum") jadi normatif dan tidak menggambarkan hubungan caussal.
Demikan pula tujuannya adalah berbeda : kriminologi ingin mencari sebab-musabab
Dari pada kejahatan dan mencari alat untuk memberantasnya,ilmu pengetahuan hukum pidana adalah untuk membangun sistematisnya.

Selanjutnya Vos menulis bahwa pompe juga mempunyai kesimbangan yang sama. Dibawah ini adalah pendapat pompe didalam buku nya "handbook van het nederlande strafrecht".
Ilmu pengetahuan hukum pidana beda dengan kriminologi. Pada ilmu pengetahuan hukum yang diselediki adalah hukum pidananya.
Ia adalah merupakan ilmu pengetahuan jurdis.
Pada kriminologi yang diselidiki adalah kejahataanya,yang didalam hukum bukan dinyatakan
Sebagai tindakan yang dapat diancam dengan hukuman, akan tetapi merupakan tindak tanduk yang tidak bermasyarakat beserta alat-alat nya untuk menghilangkan kejahatan, dan bukan sebagai sanksi-sanksi terhadap pelanggaran daripada norma, akan tetapi sebagai cara untuk mengamankan masyarakat.

Akan tetapi pompe selanjutanya menulis :
"didalam buku ini hanya diperuntukan ilmu pengetahuan hukum pidana. Walaupun menurut
Pengertiannya, secara teoritas dapat dibedakan dengan kriminologi, akan tetapi sebenarnya secara praktis tidak dapat dipusatkan.
Dalam ilmu pengetahuan hukum adalah bahwa ada dua hal yang hubungannya satu sama lain, yaitu : mencari dan menjelaskan dari pada ketentuan-ketentuan hukum, dan untuk menyelesaikan suatu pengertapan yang tepat terhadap suatu tindakan. Untuk kedua nya dibutuhkan pengetahuan perihal masyarakat dimana kejahatan itu dilakukan beserta suatu pengetahuan perihal kepribadian dari sih pelaku kejahatan. Disini letak kenyataan nya bahwa kriminologi dapat memberikan jasa-jasa baik nya kepada ilmu pengetahuan hukum pidana, terutama kini bahwa kriminologi lebih memberikan perhatianya kepada sih penjahat .
Kriminologi dalam hal ini akan merupakan suatu ilmu pengetahuan nya yang dapat mendukung ilmu pengetahuan hukum pidana.
Demikianlah pendapat Pompe sebagai yang ditulis didalam buku nya. Dari uraian sarjana tersebut
Dapatlah diketahui, bahwa Pompe betul-betul membedakan ilmu pengetahuan hukum pidana dengan kriminologi ,akan tetapi pada hakekatnya kedua ilmu pengetahuan itu ada hubungan satu dengan yang lain.
Istilah hukum indonesia

Wednesday, June 29, 2011
5:27 PM

Hukum pidana indonesia mempunyai 2 istilah : 1.obyektif 2.subyektif
-obyektif = iupoenale yang arti nya… sejemulah peraturan -peraturan yang mengadung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarannya diancam hukuman.

-subyektif = iuspoenale yang artinya .. Sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.

Hubungan antara hukum pidana subyektif dan hukum pidana obyektif.
Hukum pidana dalam arti subyektif,yaitu hak negara untuk menghukum,adalah berdasarkan pada hukum pidana ,sedangkan dalam arti obyektif ,yaitu bahwa hak untuk menghukum itu baru timbul setelah didalam hukum pidana obyektif ditentukan sejumlah perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman.

Hukum publik (publik recht) = Hukum pidana mengatur hubungan antara individu dengan masyarakat atau dengan negara

Hukum privat yaitu = yang mengatur hubungan antara individu.

Hukum pidana materiil :
Hukum pidana Materiil berisikan peraturan - peraturan tentang :

1.Perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman ( Strafbare feiten ) misalnya:
- Mengambil barang milik orang lain.
- Dengan sengaja merampas nyawa orang lain

2.Siapa - siapa yang dapat dihukum, atau dengan perkataan lain mengatur pertanggungan jawab terhadap hukum pidana.

3.hukum apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan perbuataan yang bertentangan dengan undang-undang atau juga disebut hukum penentia IR

Hukum pidana formil :
Hukum Pidana Formil,sejumlah peraturan-peraturan yang mengandung cara-cara negara mempergunakan hak nya untuk melaksanakan hukuman

Hukum Pidana dalam "abstracto"
Seorang sarjana menyebut hukum pidana materiil juga hukum pidana in abstracto yatiu yang terdapat didalam K.U.H.P dan peraturan-peraturan lainnya.

Hukum pidana dalam arti "concreto"
Dan hukum pidana formil atau hukum acara Pidana mengandung peraturan-peraturan bagaimana hukum pidana "in abstracto dibawa kedalam suatu in concreto"

Hukum Pidana dalam arti subyektif.
Hukum pidana dalam arti subyektif disebut "ius poenale" yaitu : sejumlah peraturan yang mengatur hak Negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuataan yang dilarang.

Hak Negara untuk menghukum.
a. hak untuk mengancam perbuatan-perbuatan dengan hukuman yang diselidiki oleh negara.
Ancaman hukuman ini misalnya terdapat didalam ps 362 K.U.H.P yang berbunyi :
Barang siapa mengambil barang,yang semuanya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memilikinya dengan melawan hukum,dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya enam puluh golden.

b. Hak menjatuhkan hukuman (strafoplegging). Hak ini diletakan pada alat2 perlengkapan negara
Misalnya, hakim.

c. Hak untuk melaksanakan hukuman (strafuitvoerving) yang juga diletakan pada alat2 perlengkapan
Negara,yaitu misalnya A.O.M yang melaksanakan exsekusi hukuman

Perbedaan - perbedaan Hukum publik dan hukum perdata.
Menurut Prof. Mr Djokosutomo Terdapat perbedaan antara hukum perdata dan hukum Publik.

1.Yang mengenai "belangen Theorie" (kepentingan) : hukum perdata mengatur kepentingan perorangan,hukum publik mengatur kepentingan umum.

2.Dalam kedudukan.
Hukum perdata : Mengatur hubungan-hubungan yang kedudukannya sejajar,yaitu antara penduduk dengan tidak memperhatikan tingkat kedudukannnya didalam masyarakat,tingkat intelxnya dsb.

Hukum Publik : Mengatur hubungan-hubungan yang subrodinair,membawahi, dimana terdapat hirarchi antara Negara dan penduduk.

3. Yang mempertahankan Hukum :
Hukum perdata : yang ingin mempertahankan diserahkan kepada orang-orang yang berkepentingan sendiri.
Misalnya dalam soal hutang-piutang, apakah kriditur menghendaki supaya debitur membayar hutangnya adalah bukan urusan negara, tetapi terserah kepada kreditur sendiri.

Hukum Publik : Harus dipertahankan oleh alat negara,misalnya oleh penuntut umum dalam hubungan dengan hukum pidana.

Pemakaian istilah "umum" (algemeen) dan "khusus" (Byzonder) sangat digemari oleh ahli-ahli negara dari negeri belanda,dan teori ini dikemukakan oleh Mr. Hanmaker.
Menurut Mr . Hanmaker maka :

Hukum perdata : Berlaku , IUS COMMUNE.
Hukum Perdata ini berlaku,baik untuk pemerintah maupun rakyat.

Hukum Publik : Merupakan hukum Khusus, IUS SPECIALE.
hukum ini memberi kekuasaan khusus kepada pemerintah untuk melakukan sesuatu
tindakan. Misalnya mercabut hak untuk kepentingan umum atau "enteigening
ten algemeen nutte"

IUS COMMUNE IUS SPECIALE.
Menilik sifatnya, hukum Pidana juga merupakan :
a. Hukum Pidana Umum - algemeen- Ius commune : hukum pidana ini berlaku untuk setiap orang.
b. Hukum Pidana khusus byzonder ius speciale.
1) Hukum pidana militer, yang terutama dikhsuskan untuk militer.
2) Hukum Pidana fisikal (fiscal strafrecht) yang antara lain mengurus soal-soal dalam perpajakan.

Hukum Pidana "khusus" disini dibedakan dengan hukum pidana umum,karena H.P khusus ditujukan kepada golongan orang-orang tertentu.

Hukum Pidana Militer.
Yang dimaksud dengan orang-orang tertentu (bepaalde Persomen) adalah misalnya militer,untuk bisa berlaku "hukum pidana militer" yang mulai berlaku pada 1923.
Di negara belanda, wetboek van Militer Strafrecht ini menggantikan :

1. Criminal wetboek voor het krijgsvolk te wate van 1841,dan
2. Crimineel wetboek voor her krijgsvolk te land van 1815.

Yang hanya "khusus delict militer" yang bagi militer ada peraturan -peraturan khusus (umpama pencurian pada waktu menjalankan tugas), sedang untuk coomune delict berlaku peraturan hukum pidana biasa sejauh tidak terdapat ketentuan-ketentuan lain.

Hukum pidana fiskal .
Disini masalah-masalah tertentu : adalah bukti - bukti masalah fisical.
Untuk ini berlaku "hukum Pidana fisikal" yang berlaku semenjak tahun 1886 ( dinegeri belanda )

Hubungan antara "hukum pidana umum dan hukum pidana khusus"
Hukum Pidana umum tetap berlaku disamping hukum pidana khusus sebagai "aanvullond recht" (hukum perlengkapan atau pengisi)

Pembagian lainnya :
Disamping pembagian sebagai yang diuraikan diatas van hattum juga mempunyai pembagian yang lain yaitu :
a .Hukum pidana yang di kordifikasikan ( Gecodficerd-strafrecht ).
b.hukum pidana yang telah dikordifikasikan ( ongecodificeerd Strafrecht ) .

Hukum Pidana yang dikordifikasikan.

Ad. a. Hukum Pidana yang dikordifikasikan adalah hukum pidana yang dibukukan,dimana termasuk wetboek van strafrecht dan wetboek van militeir strafrecht.

Hukum pidana yang tidak dikordifikasikan.

Ad. b. yang di maksudkan dengan hukum pidana yang tidak dikordifikasikan,adalah undang-undang khusus dan peraturan-peraturan lainnya yang mengandung ketentuan hukum pidana.

B . a. Hukum pidana umum (algemeen strafrecht)
b. Hukum pidana setempat (Plasteelijk strafrecht )

Hukum pidana Umum .

Ad. a.tentang algemeen Strafrecht diterangkan bahwa ini adalah hukum pidana yang dibentuk oleh dan berlaku didalam kerajaan (Rijk).hukum pidana ini terdapat didalam kitab undang-undang hukum pidana ini terdapat didalam kitab undang-undang hukum pidanan . Undang-undang khusus,tractaat dan didalam peraturan-peraturan pemerintah lainnya

Hukum Pidana Setempat.

Ad. b. Hukum Pidana setempat (Plaatelijk strafrecht adalah hukum pidana yang termuat didalam verordening (peraturan) yang dikeluarkan oleh propinsi,kota Praja dsb.